Ucapan terimakasih saya sampaikan pada rekan-rekan IKLIMA (Ikatan
Alumni Al-In’am Malang) yang senantiasa memberikan ruang diskusi menarik,
sebagaimana dilakukan pada malam ini 21 April 2012, saya mendapat masukan yang
sangat berlian dari obrolan singkat malam ini. Saya pikir, pemikiran-pemikiran
konstruktif dan analitis seperti perlu kita jaga dan tradisikan.
Saya pun apresiasi pada rekan-rekan yang konsisten pada niat dan
kometmennya untuk sama-sama melakukan perubahan dan perbaikan, tentu
sebagaimana terjadi dalam diskusi bahwa cara perjuangan dan pengabdian tak
harus sama. Upaya perubahan bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa melalui
sistem, bisa juga melalui non sistem. Namun perlu saya tekankan di sini, sitiap
pilihan pasti memiliki resiko dan implikasi sesuai konteksnya.
Bagi rekan-rekan yang memilih jalur perjuangan melalui sistem pasti
memiliki resiko positif dan negatif. Berjuang melalui sistem menurut hemat saya
akan lebih efektif dan bisa dilakukan dengan keterukuran. Penyampai gagasan
atau ide akan lebih mudah tersampaikan, terakomodir. Namun tentu akan
nada tantangan yang tak bisa teman-teman hindari. Setiap upaya perubahan pasti
akan menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak
bahkan mungkin akan mendapat perlawanan “penolakan”, semua itu menjadi resiko
pada seorang pencangan perubahan. Penolakan itu bisa datang dari sistem itu
sendiri bisa juga dari objek yang teman-teman bidik di lapangan, hal-hal yang
demikian tak menutup kemungkinan akan dihadapi oleh teman-teman.
Saya pikir apapun kondisi medan juang yang rekan-rekan hadapi, hendaknya
tidak menyurutkan niat dan pengabdian teman-teman untuk ummat. Tanggung jawab
kita adalah mendorong perubahan kearah yang lebih baik (konstruktif), dan saya
pikir inilah tantangan kita sebagai insan akdemik.
Bila sebagain yang lain berpandangan memelihara keadaban budaya yang ada
sebagai satu keharusan saya setuju. Namun kitapun harus sadar akan konteks
peradaban modern yang terus menyerang dari berbagai arah. Mengantisipasi
peradaban modern tidak bisa dilakukan dengan membentengi “mengasingkan diri
dari pergaulan modern” diri. Mau tak mau kita mesti mengakrabi peradaban
modern, menurut Drs. Hamid Fahmy Zarkasi “Kita kalah dalam istilah
terminologi”, kekalahan ini lantaran sikap dan keengganan kita, artinya sikap
abai terhadap kemajuan modern harus ditinjau ulang, kita harus mengambil peran
aktif dengan terus mengimbangi arus modern dan tak boleh terbawa arus.
Maka pembagian peran sebagaimana dilakukan oleh teman-teman merupakan
langkah maju yang harus terus ditumbuhkan guna tercipta satu keadaban sosila
yang berwibawa dengan tetap berpegang pada nilai keadaban yang ada, apa yang
teman-teman singgung dalam diskusi merupakan satu pernyataan sikap, sekaligus
bisa dijadikan satu perbandingan bagi rekan-rekan di internal IKLIMA bahkan
bisa menjadi kaca, begitulah kondisi sosial kita saat ini.
Pertanyaannya apakah kita akan mengikuti arus yang ada, atau kita melakukan
ancang-ancang plan peruabahan. Sebagaimana saya sampaikan dalam forum,
perjuangan yang kita lakukan harus mempertimbangkan implikasi ke depan. Saya
percaya setiap pandangan teman-teman baik yang “ekstrim/mengalir” sama-sama
memiliki nilai unik. Saya sepakat bahwa pertimbangan sosial dan kultur tak
boleh disepelekan, namun perlu rekan-rekan pahami kadang satu perubahan memang
harus ditempuh dengan cara radikal.
Mendorong perubahan dengan cara radikal memang terkesan inklusif dan masih
dipandang sebagai hal yang tabu. Namun berdamai dengan kondisi yang distruktif
“bermasalah” juga hanya akan menjadikan kita sebagai manusia yang kerdil,
berpura-pura (menjadi manusia sok baik, pembela dll) tapi mengabaikan persoalan
yang subtansi, cara semacam ini saya pikir caya yang tidak jantan dan tak
mencerminkan karakter.
Perubahan adalah hal yang niscaya, tak bisa kita menghindarinya. Maka cara
terbaik adalah melakukan satu konsolidasi mental. Ya kita harus merubah
mental dan pola pikir lama menuju satu pemikiran yang transformatif dan
dinamis. Sebagaimana saya contohkan, misal peran komonikasi media (jejaring
social, TV, Koran dll) kita tidak bisa menyepelehkan peran dari masing media
itu. Maka seorang pendidik atau mereka yang memiliki perhatian pada pendidikan
mau tak mau harus mengakrapi media-media tersebut.
Jangan sampai anak didiknya sudah mahir memanfaatkan perkembangan teknologi
dan media, tapi gurunya masih gagap terhadap perkembangan “teknologi”
media. Maka di sinilah pentingnya pendidikan sepanjang masa. Artinya apa,
mau tak mau para praktisi pendidikan harus terus melakukan ubdate keilmuannya,
sekaligus terus melakukan adaptasi terhadap kemajuan media teknologi saat ini.
Bila ada pandangan pendidikan sepanjang zaman adalah adaptasi dari barat
saya kurang setuju. Karena pendidikan sepanjang masa merupkan hal yang
disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. bahkan saya membahasakan pendidikan
sepanjang masa sebagai satu yang wajib. Namun banyak dikalangan kita masih
mengabaikan pentingnya pendidikan (anak) dan lebih mengejar nilai spiritual
seprti pergi kebaitullah. Sedang tanggung jawab untuk mengantarkan anak agar
memiliki bekal pengetahuan yang cukup kurang mendapat prioritas.
Maka tugas seorang guru ke depan tidak boleh hanya terpaku pada tanggung
jawab materi saja, namun harus mencakup segala hal (integrasi agama dengan
peradaban, sosial masyarakat dan kebudayaan). Jangan samapai ada ungkapan
pendidikan pesantren mati enggan majupun enggan. Saya lihat harus ada formulasi
kebijakan yang terus mengedepan get ruts pembenahan dan perbaikan, baik
itu dari tipikal kepemimpinan dan cara pengajaran.
Melihat konteks kepemimpinanan, pemimpin yang baik itu seperti apa dan
bagaimana?. Dan bila sampai saat ini masih ada tipe kepemimpinan yang otoriter
dan satu arah. Maka saya pikir harus dilakukan tranformasi kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus mengedepankan kepentingan ummat yang lebih luas. Jangan
mengorban ummat hanya lantaran mempertahankan egois kekuasaan. Terkait
kepimpinan saya pikir kita bisa melihat sejarah kepemimpinan dari berbagai
Negara dengan multi disiplin keilmuan.
Menurut hemat saya, tidak ada kepemimpinan yang sempurna sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. ambil satu contoh ketika dulu ada senggeta
pemindahan hajar aswat dengan berbagai suku dan kabilah saat itu, Nabi yang
dikenal jujur dan bijak didapuk untuk memecahkan persenggetaan antara suku dan
kabilah saat itu. Maka dengan kecerdasan dan dimisioner kepemimpinan, Nabi
Muhammad SAW. memberikan satu opsi yang sangat demokratis dengan pengajuan
syarat “barang siapa lebih dulu masuk di Masjid” maka dialah yang berhak menganggakat
batu mulia tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar