Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma ajem
(Berperikulah-lah secara proporsi, dan jangan mempolitisir diri)
Ungkapan
bahasa madura di atas terlontar dari seorang Ulama' kampung K. H. Abdul
Aziz (Almarhum). Ketika itu K. H. Abdul Aziz mengumpulkan masyarakat
untuk menghimpun dana pembangunan masjid. Ungkapan Mon Ajem je' tek mapetek. Mon petek je' jem ma ajem,
merupakan penegasan sikap dan perilaku "kalau orang kaya ya jangan
menyumbang seperti orang miskin dan prang miskin tidak perlu iri dengan
orang kaya".
Kalau
didalami ungkapan bahasa madura di atas, ternyata meiliki aspek yang
luas dalam kehidupan sehari-hari kita. Pertama masalah perilaku, kedua
budaya, dan yang ketiga masalah gaya hidup dan pergaulan. Ketiga aspek
itu kini telah mengalami polarisasi dan pergeseran yang besar. Kemajuan
di bidang teknologi telah menggeser nilai-nilai lokal.
Tak mudah untuk menjawab pertanyaan mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”, namun kita bisa lihat dari beberapa indikasi dasar atas perubahan perilaku pemuda atau remaja dewasa ini. Pertama kecenderungan manusia untuk meniru perilaku lingkungan sosial-nya. Kedua sikap ingin beda dari kelompok sosial atau teman. Ketiga untuk menarik atau menyita perhatian orang lain sehingga mereka dikesankan menonjol.
Kalau
didalami ungkapan bahasa Madura di atas, ternyata memiliki aspek yang luas
dalam kehidupan keseharian kita. Pertama masalah perilaku kedua budaya, ketiga
gaya hidup dan pergaulan. Ketiga aspek itu kini telah mengalami polarisasi dan
pergeseran yang besar. Kemajuan di bidang tegnologi telah menggeser nilai-nlai
lokal.
Masalah perilaku kini menjadi tema tren dikalangan remaja. Sadar atau tidak perilaku kita kini telah berubah total. Perubahan perilaku ke arah yang baik tidak akan terlalu berdampak namun perilaku nigatif cepat menyebar dan jadi firus. Perubahan itu didorong oleh sikap yang pragmatis, sikap pragmatis ini yang kemudian menimbulkan pengabaian terhadap nilai dan norma yang berlaku di lingkungan. Pertanyaan-nya mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”.
Masalah perilaku kini menjadi tema tren dikalangan remaja. Sadar atau tidak perilaku kita kini telah berubah total. Perubahan perilaku ke arah yang baik tidak akan terlalu berdampak namun perilaku nigatif cepat menyebar dan jadi firus. Perubahan itu didorong oleh sikap yang pragmatis, sikap pragmatis ini yang kemudian menimbulkan pengabaian terhadap nilai dan norma yang berlaku di lingkungan. Pertanyaan-nya mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”.
Tak mudah untuk menjawab pertanyaan mengapa perilaku “nigatif” terjadi, dan umumnya pada kalangan pemuda “remaja”, namun kita bisa lihat dari beberapa indikasi dasar atas perubahan perilaku pemuda atau remaja dewasa ini. Pertama kecenderungan manusia untuk meniru perilaku lingkungan sosial-nya. Kedua sikap ingin beda dari kelompok sosial atau teman. Ketiga untuk menarik atau menyita perhatian orang lain sehingga mereka dikesankan menonjol.
Dalam aspek
budaya, sadar atau tidak pergeseran budaya kita saat ini mengarah pada
dekadensi moral. Pertama hilangnya rasa tenggang rasa pada sesama teman. Kedua
terkikisnya nilai-nilai budaya lokal “menghormati guru”. Ketiga Pergaulan bebas
“sek bebas”, penyalah gunaan obat-obatan terlarang dan sikap komsumtif.
Penyimpangan penyimpangan tersebut terjadi secara perlahan dan dalam sekala
luas.
Gaya hidup,
dunia modern mengarahkan kita pada satu pilihan yang terstruktur masif tak
terkecuali dalam hal mode dan gaya hidup. Kita sebagai manusia merdeka
nyata-nya tak lepas dari pendekatan budaya dan mode. Gaya hidup “mewah”
diilustrasikan sedemikian rupa lewat media Elektronik TV Koran dan majalah.
Kita pun menikmati sajian “gaya hidup” sebagai satu hal yang alami, tanpa ada
sebuah proses penelaahan “menyikapi secara keritis” untuk apa dan manfaat apa
yang akan didapat.
Ketiga
masalah : Perilaku, Budaya dan Gaya hidup merupakan satu masalah yang kini
dihadapi oleh sebagian besar anak bangsa di negri ini “termasuk kita”.
Ekspektasi perilaku dan gaya hidup membentuk komonitas lokal “budaya” baru.
Kecenderungan ini ditopang oleh arus globalisasi dan keterbukaan informasi.
Kita menjadi mahluk gagap dalam menerima kemajuan ini. Mengapa saya katakan
demikian karena kecenderungan kita hanya meniru tanpa bisa memanfaatkan untuk
memperdayakan kemajuan dan kemudahan “informasi” sebagai bekal dan memotifasi
agar hidup lebih bermanfaat pada lingkungan dan bisa memajukan lingkungan kita
sendiri.
Kalau kita
cermati kemajuan yang digadang-gakangkan saat ini, merupakan kemajuan yang
ilusif dan keropos. Alasan ini didasari atas sikap dan kebiasaan kita yang
setia menjadi pengabdi “budak” yang rela dieksploitasi, sehingga kita melupakan
asas untuk maju dan ber-ke-mandiri-an. Desain modernisasi adalah
pengeksploitasian hidup yang sangat luar biasa dan kita menjadi teman sekaligus
penikmat-nya.
Setiap gerak
adalah modal. Setiap tindakan adalah implus yang sebisa mungkin menghasilkan
uang. Dan tampilan adalah sebuah prodak yang senantiasa bisa meraup keuntungan
finansial (itu-lah ciri dari pergulatan ekonomi modern). Ya kita terjebak dalam
lingkaran ekonomi modern. Ekonomi modern selalu mendayagukan sikap dan tren
buyada-gaya hidup sebagai basis keuntungan. Jika kamu mengikuti tren
buyada-gaya hidup maka setiap detik akan berubah dan siap menguras pundi-puindi
keuangan kita.
Kemudian apa
kolerasi dari ungkapan Mon Ajem je' tek ma petek. Mon pete' je' jem ma Ajem,
ungkapan ini setidak-nya menjadi keritik pada diri kita agar hidup tidak
berlebihan. Ungkapan itu juga hampir sama dengan nasehat yang sering diberikan
orang tua kepada kita “ingat dari mana asal-mu” atau satu ungpakan “jangan
seperti kacang yang lupa kulit-nya”. Ungkapan-ungkapan itu mendorong pada kita
untuk tetap ingat pada nilai lokalitas yang ada. Atau kita ingat sebuah
stedment “ber-sikap lokal dan berfikir global”.
Sebagai
generasi terdidik kita haus mampu mengkombinasikan nilai-nilai budaya lokal
dengan kemajuan “modern” saat ini. Melestarikan budaya lokal merupakan
tanggungjawab kita. Generasi saat ini harus memiliki tanggungjawab yang
ber-ke-sahaja-an terhadap diri dan lingkungan. Bekal pendidikan bukan untuk
menjadikan kita berjarak dengan lingkungan “budaya lokal” dan masyarakat. Kita
harus meng-eleminasi sikap gengsi dari diri kita. Saat-nya kita berperan secara
aktif “mengharmonisasikan budaya lokal sehingga bisa berniai ekonomis”.
Malang, 16 April 2011
Malang, 16 April 2011
By : Mahmudi Ibnu Mas'ud
0 komentar:
Posting Komentar